Budaya sound system merupakan produk dari kombinasi faktor-faktor sosial yang khas Jamaika. Di negara yang penduduknya sebagian besar berpenghasilan rendah ini, orang kemungkinan besar tidak punya uang untuk membeli dan memainkan piringan hitam di rumah. Namun seperti orang di negara-negara lainnya, mereka ingin bersenang-senang bersama orang lainnya dan menari.
Konsep sound system pertama kali menjadi populer pada tahun 1950-an di kawasan kumuh kota Kingston. Para DJ memuati sebuah truk dengan genset, meja putar, berikut sejumlah pengeras suara berukuran besar, dan lalu mengadakan pesta di jalanan atau tempat terbuka.
Deejay yang berperan sebagai selector memilih dan memainkan rekaman piringan hitam yang memiliki bass menonjol, memanipulasi kontrol volume dan tone atau menambah efek suara khusus seperti echo dan reverb untuk membuatnya dramatis. Deejay lainnya memegang mikropon, dan berada di atas panggung atau di tengah para penari, serta mencoba berdialog dengan kerumunan orang, sambil menyanyikan lirik dan umumnya membuat musik dari piringan hitam menjadi lebih hidup.
Pada awalnya para DJ memainkan musik rhythm and blues asal Amerika Serikat, namun seiiring perjalanan waktu, makin banyak pula musik lokal yang diciptakan hingga akhirnya musik yang mereka mainkan berubah menjadi musik lokal.
Pesta-pesta yang mengundang sound system adalah bisnis besar, dan merupakan salah satu cara ampuh untuk mencari uang di tengah ketidakstabilan ekonomi. Penyelenggara pesta (DJ) mendapat uang dari “tiket masuk” dan keuntungan penjualan makanan serta minuman keras. Pesta musik sound system dapat pula dihadiri hingga ribuan orang.
Pada pertengahan 1950-an, sound system telah menggantikan peran band dan pemusik hidup dalam pesta-pesta. Pada paruh kedua 1950-an, sistem tata suara yang dibuat secara khusus mulai bermunculan dari bengkel-bengkel spesialis tata suara, misalnya Headley Jones yang membuat kotak pengeras suara seukuran lemari pakaian yang disebutnya “House[s] of Joy”. Sekitar masa itu pula, DJ sekaligus MC bernama Count Machuki (nama asli: Winston Cooper) mencuat ke permukaan sebagai superstar.
Suara yang dihasilkan oleh sistem tata suara mereka juga makin lama makin keras, di antaranya terdapat sistem yang memerlukan daya listrik sampai 30.000 watt atau lebih, dengan watase serupa yang dapat diperoleh pada frekuensi tinggi dan menengah—dan bahkan sistem yang lebih kompleks dari sistem tata suara sebelumnya, misalnya pemutar rekaman dengan sebuah pengeras suara ekstensi tunggal. Kompetisi antara sound system begitu sengit hingga akhirnya lahir dua bintang DJ dalam dunia sound system: Clement ‘Coxsone’ Dodd dan Duke Reid.
Kepopuleran sound system terutama didasari oleh satu keinginan, yakni memiliki musik baru. Dalam usahanya menghindari rekaman yang dihasilkan label rekaman Amerika, dua superstar sound system, Clement ‘Coxsone’ Dodd dan Duke Reid beralih ke memproduksi musik sendiri. Pada awalnya mereka memproduksi singel-singel hanya untuk keperluan sound system masing-masing. Singel tersebut dikenal sebagai “exclusives” atau dubplate karena hanya ada satu kopi untuk satu lagu.
Usaha meniru suara R&B dari Amerika Serikat berkembang menjadi genre musik baru dan unik Jamaika yang disebut ska. Pergeseran ini sebagian disebabkan oleh R&B gaya Amerika yang sebagian besar digemari oleh pendengar remaja berkulit putih, dan kemudian berkembang menjadi rock and roll. Oleh karena itu, pemilik sound system tidak dapat lagi mengandalkan pasokan lagu dari singel-singel Amerika seperti yang mereka ingini, yakni lagu-lagu boogie berirama cepat dan balada.
Sebagai reaksi dari kekurangan lagu, produser-produser Jamaika membuat lagu sendiri, dan memperkenalkan sejumlah elemen asli dari musik Jamaika, misalnya gitar ritme yang digenjrang secara offbeat dan snare-drum yang menekankan pada beat ketiga. Setelah bentuk musik baru ini makin populer, Dodd dan Reid mulai secara serius berkonsentrasi dalam bdang produksi musik. Studio produksi Coxsone Dodd akhirnya menjadi label rekaman Studio One, sementara Duke Reid mendirikan Treasure Isle.
Sejalan dengan meningkatnya kepopuleran mereka sepanjang tahun 1960-an hingga 1970-an, grup-grup sound system dipolitisasi oleh partai-partai politik. Sebagian besar sound system dan pemiliknya diberi label sebagai pendukung partai politik tertentu, di antaranya: PNP atau JLP. Meskipun demikian sejumlah pemilik sound system mencoba untuk mempertahankan netralitas politik mereka. Sebagai fenomena budaya dan ekonomi, sound system juga dipengaruhi oleh perubahan besar dalam sosial dan politik yang terjadi di Jamaika pada waktu itu.
(FIR)
Comments are closed.