Ada empat benda yang ikut dikuburkan bersama Bob Marley ketika ia meninggal: gitar Gibson Les Paul, Alkitab, sejumput ganja, dan sebuah bola.
Secara sederhana, keempat benda itulah yang melambangkan hidup seorang Bob Marley, seorang musisi dunia yang menjadi simbol musik reggae dan seorang aktivis politik yang selalu menyebarkan pesan perjuangan — saya enggan mereduksinya sekadar menjadi ‘simbol perdamaian’ pengisap mariyuana, karena sebagian besar hidupnya pun dihabiskan untuk menuliskan lagu bernada kemarahan dan menggugat ketidakadilan.
Gitar adalah medium bagi Marley menciptakan nada-nada yang mencerminkan pesan jiwanya, sementara alkitab melambangkan bagaimana Marley, seorang yang berpindah dari Katolik ke Rastafarian, percaya bahwa “Dalam hidup, Anda harus berbuat baik, karena suatu saat Tuhan akan membalasnya dalam bentuk bayaran spiritual.”
Sementara itu, sepak bola adalah bagian lain dalam diri Marley yang tak pernah ia tinggalkan.
“Sepak bola adalah kemerdekaan”
Bob Marley
Sedari kecil, musisi yang terlahir pada 6 Februari 70 tahun lalu itu memang dikenal jago mengolah si kulit bundar. Padahal, ia hanya belajar bermain dari bola yang terbuat dari potongan kardus yang dimampatkan dan diikat dengan selotip bening — sebagaimana pecinta bola pada umumya yang tak pernah peduli dengan ruang atau medium seadanya untuk bermain bola.
Tapi seorang Marley tak pernah lepas dari bola. Ketika ia berkeliling dunia untuk melakukan tur, pelantun Redemption Song ini selalu mencari-cari celah agar ia dan grup musiknya, Wailers, bisa bermain setiap saat.
Marley juga selalu membawa bola ke mana-mana. Ia kerap mendapatkan dorongan bermain baik dengan wartawan, sesama musisi, atau siapa pun yang ia temui di perjalanan. Ketika seorang wartawan ingin mewawancaranya, ia bahkan pernah berkata, “Jika Anda ingin mengenal saya, maka Anda harus bermain bola dengan saya dan The Wailers.”
Tak heran jika pada berbagai foto yang mendokumentasikan perjalanan hidupnya kerap ditemukan sebuah bola, entah itu sedang digunakan oleh Marley sebagai bantal, sedang digiring, atau di-juggling dengan lututnya. Salah satu foto ikonik Marley adalah ketika ia sedang bermain bola di ruangan yang sempit dengan musisi legendaris lain, Jimi Hendrix.
Marley memang tak pernah lepas dari bola meski sampai ke lubang kuburnya.
Sepak Bola dan Kemerdekaan
Di jalanan Kingston, Jamaika, bola dan musik menjadi bagian penting dalam diri Marley kecil yang nyaris setiap waktu harus mengalami kesusahan.
“Ketika saya hidup di ghetto (perkampungan kumuh), setiap hari saya harus melompati pagar dan menghindari kejaran polisi. Bukan selama seminggu — tapi tahunan!” ujar Marley pada Vivien Goldman, penulis yang kini mengajar kelas Marley dan Musik Post-Kolonial di Universitas New York.
Jamaika, pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya itu memang tak selamanya menawarkan cerita manis. Marley tahu benar makna sebenarnya menjadi seorang penduduk Jamaika — pulau yang semula digunakan sebagai pulau untuk membuang budak-budak paling liar dan tak bisa diatur.
“Adalah fakta bahwa kami datang dari Afrika sebagai budak. Itu benar-benar fakta. Uang dan kekuatan yang dimiliki orang-orang lain hanya akan membuat kami tetap berada dalam perbudakan,” kata Marley.
Dengan tingkat kesadaran berpolitik seperti itulah Marley mendendangkan lagu dan mengajak orang-orang untuk membebaskan pikiran dan terutama dari mental perbudakan.
Selain melalui musik, sebagian kedamaian Marley diperoleh ketika ia bermain bola dan berhenti dari kejaran.
“Sepak bola adalah satu dunia tersendiri,” menjadi salah satu frasa Marley tentang permainan paling populer di dunia tersebut.
“Kemerdekaan! Sepak bola adalah kemerdekaan!” lanjutnya.
Dan kemerdekaan pula yang seolah melambangkan cara Marley bermain bola. Riang dan tanpa aturan. Dengan lututnya ia terbiasa melakukan juggling selama berjam-jam, sementara aksi ‘tipu-tipu’-nya ketika memainkan bola di lapangan pun tak kalah rancak dengan seorang pemain kenamaan.
Satu klip video yang menunjukkan Marley bermain bola di bawah pepohonan di Selandia Baru memperlihatkan dirinya yang dengan langkah-langkah kecil mampu menggiring bola melewati lawan. Lagi dan lagi.
Tak heran jika Marley, seorang musisi yang sudah berkeliling ke berbagai negara, menyukai sepak bola Brasil. Klub favoritnya adalah Santos dan pemain kesukaannya adalah sang legendaris Brasil yang juga tenar di era yang sama dengan Marley, Pele.
Sebagaimana musik Marley yang mengajak orang untuk membebaskan pikiran, sepak bola-nya orang Brasil pun tak kenal struktur atau aturan. Sepak bola Brasil memang dimainkan secara liar dan penuh keindahan bukan seperti sepak bola Eropa yang dipenuhi soal formasi, strategi, dan kerumitan.
“Seorang Brasil akan memainkan sepak bola dengan membayangkannya sebagai tarian,” ujar Gilberto Freyre seorang ilmuwan sosial asal Brasil. Hanya di Brasil juga lah sepak bola dikenal dengan sebutan “jogo bonito” atau “permainan yang indah”.
Bagi Brasil, sepak bola juga memiliki sejarah panjang sebagai alat perlawanan masyarakat kelas bawah terhadap segregasi dan perbudakan, seperti halnya musik Marley yang didendangkan untuk hal yang sama. Jika boleh membuat analogi, mungkin musik Marley bisa melambangkan sepak bola bagi orang Brasil itu sendiri. Menghibur dan menceriakan namun sekaligus merawat dan menguatkan.
Mendengarkan musik dan irama dari No Woman No Cry, tak sulit untuk menutup mata dan membayangkan anak-anak kecil di pelosok Brasil yang tak kuasa mengikuti keinginan hati untuk berdansa dengan sepak bola. Entah itu di jalanan berbatu, di pasir pantai, atau padang rumput luas yang membuat mereka dengan bebas meloncat dan melakukan tendangan di atas kepala.
My feet is my only carriage
And so I’ve got to push on through.
Oh, while I’m gone,
Everything’s gonna be all right!
Everything’s gonna be all right!
sumber : CNN
kalo masih hidup pasti World Cup bisa di jamaika yaa hehehe